twitter Bird

Jumat, 16 Maret 2012

RUTH

*Panggil saja namaku “Ruth”, umurku 16 tahun, anak perempuan pertama dari 10 bersaudara. Konon Papaku yang memberikan nama itu, saat Ibuku tengah mengandung di bulan yang ke delapan. Belum sempat aku melihat wajahnya, papa sudah memutuskan untuk pulang ke negara asalnya. Ibuku bilang, sebenarnya papa sudah memiliki sebuah keluarga kecil di Netherland, dan Ibuku hanyalah pemuas rasa rindu terhadap istrinya saat dia masih bertugas disini.

Ibuku memutuskan untuk menikah lagi dengan laki-laki yang pernah dicintainya jauh sebelum akhirnya terjerumus kedalam cinta papa, maka lahirlah kesembilan adik-adikku setelahnya. Ibu begitu mencintaiku, tapi tidak dengan Bapa tiriku… dia menatap mataku seolah sedang melihat sosok seorang penjajah, karenanya pula kesembilan adikku tak pernah sedikitpun bersikap ramah kepadaku. Aku tak mengenal Bapa, saudara, kakek, atau nenek. Bagiku hidup ini sangatlah sepi, hanya ada aku dan ibu.

Ditempat ini, aku hidup bagaikan mahkluk aneh. Mereka menyebutku “anak Indo”, sebuah istilah yang menggambarkan sosok campuran antara dua bangsa, Indonesia dan Eropa. Mungkin ada beberapa keluarga yang memiliki darah serupa denganku, tapi tidak ditempat ini, sebuah perkampungan terpencil yang letaknya cukup jauh dari pusat pemerintahan. Disini aku terlahir menjadi sesosok mahkluk menjijikkan yang dibenci oleh siapapun, mereka menganggapku sama dengan seorang penjajah.

Jika Tuhan memberikan aku sebuah keajaiban, aku ingin merubah semua yang ada di diriku ini… aku ingin menjadi sama seperti adik-adikku yang lain, adik-adik yang tampan dan cantik dengan wciri khas manusia melayu.

Ibu selalu ada disisiku, memberikan kekuatan sambil tak henti berbisik, “Ruth, kau akan menjadi orang hebat…”.

Satu hal yang aku benci dari Ibu, dia tak pernah mau mengakui bahwa pernah ada cinta antara dia dan Papaku. Semua orang di kampung ini selalu menganggapnya korban dari kebejatan bangsa Netherland, padahal beberapa kali sempat kumelihat Ibu melamun sendirian didalam kamarnya yang suram, meneteskan air matanya sambil sesekali membisikkan sebuah nama… Anthony, nama Papaku. Seandainya Ibu mau mengakui perasaannya, mungkin orang tak akan memperlakukan aku dengan begini buruk, memperlakukanku seolah aku adalah buah hasil perkosaan seorang penjajah kepada Ibuku.

Oh... Ini tak adil bagiku… Tetapi mungkin aku akan merasa lebih sakit lagi jika semua orang menganggap Ibuku seorang pengkhianat karena telah mencintai seorang penjajah.

Nasib buruk selalu berpihak kepadaku… serangan Nippon seketika menyerbu tanah ini, mereka mengincar semua yang berhubungan dengan bangsa Netherland. Aku adalah satu-satunya wanita yang merasakan kekhawatiran berlebih dibandingkan yang lainnya. Ibu, Bapa, dan semua adik-adikku bisa tetap hidup tenang… karena mereka semua benar-benar memiliki darah murni bangsa ini. Sementara aku, wajahku saja benar-benar tak mencirikan seorang anak melayu meski sedikitpun aku tak tahu bagaimana hidup sebagai seorang bangsa Netherland, semua darah yang Papaku punya jatuh padaku… tak menyisakan sedikitpun kemiripan dengan bangsa Ibu. Hanya Ibu yang ikut resah dengan kedatangan Nippon, dia takut anak perempuan indo-nya menjadi korban dari kekejaman Nippon. Ibu tak pernah berhenti memeluk dan mengusap kepalaku, dia berkata “Ruth, kamu akan baik-baik saja. Ibu akan melindungi kamu hingga tetes darah yang terakhir”.

Aku ingat malam itu aku tidur lebih cepat dari biasanya, sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur, bayangan tentang Nippon yang katanya sudah banyak membunuh bangsa Netherland di kota terus menerus membayangiku. Jika mereka menemukanku, aku yakin betul… aku akan mati ditangan mereka. Namun malam ini, mataku beratt sekali… tanpa menunggu lama, aku tertidur dengan cepat… tak seperti biasanya…

Tiba-tiba saja suara Bapa membangunkan tidurku yang baru malam ini bisa nyenyak, “Heh anak setan! Bangun kamu!”. Sebuah buntelan kain dilemparkannya ke arahku, “Ada apa pa? Bapa kenapa bangunin saya?”, aku masih merasa sedang berada di alam mimpi. “Cepat pergi kamu dari sini! Kau hanya anak pembawa sial! Sana pulang ke negaramu! Aku tak sudi melihatmu disini mencelakai istri dan anak-anakku!”, suaranya setengah berbisik… mungkin takut Ibu terbangun karenanya. “Tapi saya ini kan anak Ibu dan Bapa juga? Saya tidak tahu harus pergi kemana Pa…”, air mataku mulai berjatuhan setelah kini akhirnya benar-benar tersadar bahwa dia tak mengharapkanku ada disini. “Pergi saja lah! Jangan banyak bicara, atau kau mau kubunuh? Cepat pergi sebelum Istriku terbangun!”, ditariknya tanganku dengan sangat kasar. Malam itu, dingin… gelap… aku berjalan sendirian meninggalkan Ibu, satu-satunya tumpuan hidupku untuk terus bertahan… tak sempat aku berpamitan padanya… tak tahu kemana arah yang akan kutuju…

Aku masih berjalan sendirian saat tiba-tiba kudengar derap langkah kaki yang cukup banyak dan bersemangat, tubuhku refleks bersembunyi dibalik pepohonan yang cukup besar, sementara mataku terus berkeliling mencari tahu asal suara itu.

Didepan mataku, kulihat banyak tentara Nippon bergerak menuju perkampungan tempat aku tinggal. Entahlah, saat itu airmataku kembali menetes… dalam pikiran positifku, aku merasa Bapa sedang melindungiku dengan caranya, dia mengusirku pergi meninggalkan rumah, untuk melindungi keluarganya… termasuk diriku. Jika aku masih terlelap tidur di rumah, mungkin mereka akan menemukanku, tak hanya membunuhku… tapi juga akan membunuh seluruh keluargaku karena dianggap menyembunyikan seorang Netherland. Aku yakin Bapa tahu tentang kabar kedatangan orang-orang Nippon ini…

Setitik rasa bahagia muncul ditengah kalut yang terus membayangiku… bapa punya cara sendiri untuk peduli padaku… aku yakin Bapa sebenarnya menyayangiku seperti menyayangi adik-adikku yang lain.

Tiba-tiba saja aku teringat buntelan kain yang Bapa lempar ke arahku, rasa penasaran muncul setelah pikiran baik tentang Bapa kepadaku melintas, aku ingin tahu apa saja yang ada didalamnya…

Air mataku kembali berurai ditengah kebisuan pepohonan malam ini, suara derap kaki tentara-tentara itu sudah tak terdengar… yang tersisa hanya isak tangis haruku. Didalam buntelan ini, kutemukan beberapa potong pakaianku yang sudah terlipat rapi, sejumlah uang logam, singkong rebus berbungkus daun pisang, serta seperangkat alat shalat berupa mukena. Aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah, sampai akhirnya detik ini… Tiba-tiba saja kurasakan kasih sayang itu, benar adanya… Bapa menyayangiku.

Kugenggam pasir yang ada disekitarku, menggunakannya untuk mensucikan diri sebelum sembahyang malam. Entahlah, dalam resah ini aku hanya ingin beribadah dengan menggunakan mukena yang Bapa bekalkan buatku. Kupakai mukena itu untuk berdoa kepada-Nya semoga aku terlindungi dari segala perbuatan kejam mahkluk ciptaannya. Aku berharap agar tetap bisa hidup, aku hanya ingin kembali ke pangkuan keluargaku…

Saat mengakhiri sembahyang malam, mengucap salam dan mengarahkan wajahku ke sebelah kiri, tepat disampingku kulihat seorang laki-laki berkulit kuning kecoklatan, bermata sipit, dengan pakaian menyerupai tentara tengah duduk memperhatikanku yang cukup lama bersembahyang. Mataku terbelalak hebat, walau belum pernah bertemu Nippon, aku tahu betul laki-laki ini adalah salah satu diantara mereka. Aku yakin, dia akan membunuhku, aku yakin… hidupku tak akan lama lagi berakhir.

Mulutku menganga siap berteriak, namun tangannya tiba-tiba saja membekap mulutku. Dia berbisik dengan bahasa asing yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku tidak mengerti, tapi sepertinya jika dilihat dari gerak geriknya, dia ingin agar aku tetap diam.

Tangannya membekap mulutku lebih dari 1 jam, dan tubuhku masih duduk berbalutkan mukena. Dia tak berkata-kata lagi, namun sepertinya tangannya tak bisa lepas dari mulutku yang kini mulai terasa pegal, sepertinya dia takut aku akan berteriak kencang… aku masih belum yakin akan perlakuannya, apakah dia sedang melindungiku? Entahlah, dalam keadaan ini… aku hanya bisa pasrah.

Malam semakin gelap… hanya suara serangga yang kudengar, dan suara nafasnya yang terdengar sangat teratur, sepertinya laki-laki ini sangat tenang… dan aku mulai merasa bahwa dia bukanlah laki-laki yang jahat.
 
Dia melepaskan dekapan tangannya dimulutku, berdiri sambil tak henti memantau keadaan disekitar kami, tangannya meraih pergelangan tangan kiriku, aku sempat menolaknya… namun kepalanya mengangguk sedikit, seolah memberi tahu bahwa aku akan baik-baik saja. Dituntunnya tanganku dalam kegelapan, ternyata laki-laki ini bertubuh lebih tinggi dariku… dia tidak pendek seperti yang lainnya yang tadi sempat kulihat sebelumnya. Kami sama-sama membisu, malam itu rasa takut tiba-tiba sirna dariku, hatiku berkata “Laki-laki ini akan melindungiku”.
 
*Namaku Taka Matsuda, mereka biasa memanggilku Taka. Sebenarnya beberapa diantara mereka memanggilku dengan sebutan  Ishi  yang berarti Batu. Konon menurut mereka, aku adalah orang yang tak pernah memiliki ekspresi, sama seperti sebuah batu. Mereka hanya tak benar-benar mengenalku, aku akan diam seperti ini jika tidak suka melakukan apa yang sedang kulakukan. Aku benci perang, namun Ayahku memaksaku sebagai anak laki-laki pertamanya untuk pergi ke medan perang membela negara kami. Ayah sudah tak punya taring untuk kembali berjuang, badannya yang lemah tak lagi bisa diandalkan, namun tabiatnya yang keras dan galak masih saja dia pertahankan. Aku tak begitu suka diperintah, sama halnya seperti dia. Jika bukan karena Ibuku, aku lebih memilih diam di negeriku melakukan apa yang kusuka untuk hidupku, yaitu melukis. Ibuku wanita Jepang yang sangat lemah, berulangkali aku coba meyakinkannya bahwa kami akan baik-baik saja tanpa Ayah, tapi dia bersikukuh untuk terus mengabdikan hidupnya untuk Ayahku yang ringan tangan. Aku pergi ke medan perang dalam keadaan Marah, aku benci Ayahku yang semena-mena, aku benci Ibuku yang lemah.

Tugas pertamaku adalah membantu negaraku berjuang menguasai sebuah negara bernama Indonesia, yang sudah terlebih dulu dikuasai oleh bangsa Netherland. Aku lelah memikirkan harus menjadi seorang bangsa yang kejam dan dengan seenaknya membunuh semua Netherland yang kami temui disana, dalam hatiku bertekad… jika yang lainnya mampu berbuat seperti itu, akulah satu-satunya orang yang tidak akan menjadi seorang pembunuh, aku tak suka membayangkan bagaimana jadinya nanti masa tuaku jika terus-menerus dihantui perasaan berdosa. Bangsaku terkenal dengan bangsa yang gigih, mereka tak pantang menyerah untuk terus berjuang menjadi penguasa, itu bagus… tapi sisi buruknya, mereka melakukan segala hal untuk mencapainya, termasuk hal-hal licik yang tak kusukai. Mereka merayu bangsa lugu ini dengan menawarkan segala sesuatu yang menggiurkan, lalu menghasut agar mereka membenci bangsa Netherland, membantu membumihanguskan bangsa Netherland, lalu kemudian menikam bangsa lugu ini saat mereka mulai menagih semua janji yang kami berikan. Aku hanya bisa berdiam diri dan kadang menutup mataku saat melihat anak-anak kecil, wanita, laki-laki tua berambut pirang menjerit kesakitan tak berdaya dibantai habis oleh bangsaku. Semua teman-temanku menganggapku banci, lemah, dan kini berakhir dengan sebutan batu, karena sejelek apapun mereka menganggapku… aku hanya bisa terdiam dan fokus pada tekadku, tak akan pernah menyakiti atau membunuh lawan bangsaku.

Suatu hari, ketua pasukanku mengumumkan, ada seorang wanita Netherland di sebuah desa terpencil tak jauh dari posko kami tinggal disana. Seorang warga setempat memberikan informasi itu kepada kami. Tak ada kaum wanita diantara kami, semua temanku melompat girang saat mengetahui ada seorang wanita Netherland muda hidup di desa itu… itu artinya, rasa haus mereka terhadap wanita bisa segera terpuaskan. Sebagian dari mereka merasa iri pada pasukan lain yang berhasil menculik banyak wanita Netherland di daerah lain, wanita-wanita itu digunakan sebagai pelampiasan nafsu mereka sebelum akhirnya mereka enyahkan dari muka bumi. Miris aku mendengarnya, kenapa bangsa yang kubela tak punya berprikemanusiaan? Aku lebih baik diam, berdoa semoga malam ini saat kami menyergapnya, wanita Netherland itu dapat melarikan diri.

Malam mulai datang, pasukanku bergerak menuju desa itu dengan begitu semangat, bisa kulihat ekspresi gembira dari wajah mereka yang tak sabar untuk segera menculik wanita Netherland itu. Aku berjalan lunglai dibelakang, tak siap membayangkan bagaimana nanti saat mereka menyiksanya. Yang lain bergerak cepat, lebih cepat dari bisanya didepanku. Kami melewati hutan gelap untuk mencapai desa itu, cukup jauh… dan baru kali ini kami datangi. Dalam perjalanan, aku tak kuat menahan rasa sakit perutku untuk buang air besar. Setelah meminta ijin kepada ketua pasukan, akhirnya kubelokkan langkahku ke arah semak-semak didalam hutan, kubiarkan semua temanku pergi meninggalkanku, lagipula… sebenarnya aku berniat untuk berdiam diri disini saja menunggu mereka kembali. “Ah lega sekali…”, pikirku dalam hati setelah berhasil menghalau rasa sakit perutku. Entah sudah pukul berapa kini, yang pasti malam ini begitu gelap, yang kudengar hanyalah suara jangkrik, hembusan angin, kicauan burung hantu… dan… dan… isak tangis? Badanku terlonjak kaget mendengar isak tangis wanita tiba-tiba muncul diantara banyaknya suara binatang yang kudengar malam ini. Kucari darimana asalnya suara itu, sepertinya tidak terlalu jauh dari tempatku kini berdiri. Aku terus berjalan perlahan mencari tahu, sampai akhirnya kutemukan sebuah sosok dengan jubah putih menutupi badannya sedang duduk menangis tersedu sambil menengadahkan tangannya keatas, sepertinya dia sedang berdoa. Wanita muda ini adalah seorang keturunan Netherland, sepertinya sih begitu jika melihat dari kulit putih pucat dengan alis coklat dan bintik-bintik coklat disekitar wajahnya. Sebenarnya Wanita ini berasal dari mana? Apakah dia wanita yang dicari oleh teman-temanku?

Dia masih saja duduk sambil tersedu membacakan bahasa yang benar-benar tak kupahami, dia usapkan kedua tangannya ke muka, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Mata kami bertabrakan, aku merasa tersentak kaget, begitupula yang terjadi padanya?

Sepertinya untuk beberapa saat kami hanya mematung kaget sambil saling bertatapan, entah apa yang akan kuucapkan padanya karena aku tahu kami tak akan paham dengan bahasa kami. Tiba-tiba kudengar bunyi langkah kaki yang berasal dari banyak kaki manusia bersepatu, sepertinya rombongan pasukanku sudah kembali dari desa itu. Mata wanita itu seperti kaget mendengarnya, kepalanya berputar ke kanan dan ke kiri gelisah, hampir saja dia berteriak kaget sambil terus melotot menatapku, tangan kananku refleks menutup mulutnya yang hampir berteriak, sementara tangan kiriku mengangkat telunjuk yang mengarah ke bibirku sambil memberi isyarat bahwa “aku tidak akan menyakitimu”.

Tanganku masih saja memegangi mulutnya. Sial! Ternyata memang benar mereka adalah pasukanku, dan lebih sialnya lagi… mereka berhenti tak jauh dari lokasi kami berada. Samar kudengar mereka marah karena wanita yang mereka cari ternyata telah melarikan diri sebelum mereka datang, aku semakin yakin bahwa wanita yang ada disampingku ini adalah wanita yang mereka cari. Intuisiku berkata, “aku ingin menyelamatkan wanita ini”.

Kami harus menunggu 1 jam lamanya disana, masih dalam posisi yang sama seperti tadi, tapi wajahnya kulihat sudah mulai bersahabat meski tangan kananku masih mendekap mulutnya. Akhirnya pasukanku beranjak pergi, aku tak peduli mereka mencariku atau tidak. Tangan ini kulepaskan dari mulutnya, berdiri, dan entah kenapa lalu mulai mengulurkan tangan lainnya untuk menuntunnya pergi dari tempat ini… kemana saja… asal dia aman dan tak terjamah oleh pasukanku. Aku tak peduli pada perbedaan kami, pada asal usulnya, pada bahasa yang sama-sama tak kami mengerti… aku hanya ingin menyelamatkannya…

Aku, Taka Matsuda, seorang Jepang yang kini sedang berusaha menyelamatkan seorang wanita Netherland. Entah kemana aku akan membawanya, baru kali ini kuinjakkan kaki di hutan dan wilayah ini…

Kemana sajalah… aku tak peduli, karena sepertinya wanita ini juga benar-benar tak berdaya, dan mulai bersedia mengikutiku yang tak mungkin akan menyakitinya.
 
 
*16 tahun akhirnya saya nikahi wanita yang telah membuat saya jatuh cinta untuk pertamakalinya, namanya adalah Siti Nursari, saya biasa memanggilnya dengan sebutan “Nunung”. Nunung dan saya sudah saling mengenal sejak kecil, kami bertetangga, dan kami saling mencintai tanpa saling mengungkapkan perasaan kami selama beberapa tahun, hingga akhirnya Nunung pergi meninggalkan kampung kami… menyedihkan, karena saat nunung kembali, dia terluka secara batin sambil menimang seorang bayi perempuan berambut pirang yang diakuinya sebagai anak hasil perkosaan terhadapnya, oleh seorang laki-laki asal Netherland. Saya yang selalu menaruh perhatian besar kepadanya menawarkan diri untuk membasuh luka traumanya terhadap laki-laki, saya melamarnya tak lama setelah dia pulang… dia anggukkan kepalanya tanda setuju, sejak itu… kami menjadi sepasang suami istri.


Sebelumnya, saya sangat percaya cerita dan perkataan Nunung tentang kisah pilunya, namun dari caranya memperlakukan anak perempuan pirang bernama Ruth yang merupakan anak hasil perkosaan, dan dari caranya menangis hampir setiap malam bagai merindukan seseorang, saya yakin… ada sesuatu yang terjadi antara Nunung dan laki-laki Netherland itu, lebih dari sekedar perkosaan, lebih dari sekedar kesakitan yang selama ini dia gembar-gemborkan kepada saya, saya yakin sebenarnya Nunung sangat mencintai laki-laki asal Netherland itu. Tapi sudahlah, meskipun kadang sakit menyadarinya, saya tetap mencintai Nunung lebih dari apapun. Setiap orang pasti punya masa lalu, toh sepertinya kini nunung mulai mencintai saya… 9 anak sudah kami miliki kini.


Sejak awal saya tidak pernah bermaksud membenci Ruth, saya hanya ingin berusaha menjadi seorang Bapak yang adil. Bagaimana tidak, Nunung tampak hanya peduli kepada Ruth, sementara 9 anak-anaknya yang lain tak pernah dia pedulikan. Bahkan sejak kecil mereka tak pernah merasakan Air Susu Ibu, saya menjadi seorang Bapak sekaligus Ibu bagi 9 anak-anak kami. Nunung terlalu asik memikirkan Ruth yang semakin hari konon semakin mirip dengan Ayahnya. Ruth sebenarnya tidak pernah bersalah atas semua hal yang menimpa hidupnya, terkadang saya tidak tega menatap matanya yang sangat mencerminkan kerinduannya pada sosok seorang Ayah, tapi saya tidak bisa lemah terhadapnya… saya ingin Nunung menyadari bahwa sebenarnya dia punya 9 anak lainnya yang seharusnya dia perhatikan. Saya tidak membiarkan 9 anak-anak saya bergaul dengan Ruth, saya hanya tak ingin mereka melihat bagaimana istimewanya Ruth dimata Ibu mereka dibandingkan mereka sendiri.


Kabar mengenai Jepang yang mulai masuk ke tanah ini sudah saya dengar sejak beberapa lalu, menurut kabar burung… mereka memusnahkan semua Netherland yang ada di kota beserta antek-anteknya, mereka ingin menghalau semua Netherlander yang ada di tanah negeri ini. Sepertinya kabar itu sudah sampai pula ke telinga Ruth, karena saya lihat belakangan ini dia begitu sering termenung, keresahan juga saya lihat dimata Nunung, hampir setiap malam dia sholat sambil menangis. Bagaimana tidak, Ruth terlahir sangat pirang dan pucat, dia tidak ada bedanya dengan orang-orang Netherland lainnya meski ada darah Nunung mengalir di tubuhnya. Semua orang di kampung ini menjauhi dia sejak dulu, mereka semua menganggap Ruth seorang penjajah. Kasihan Ruth, dan saya yakin dia berpikir bahwa saya pun sama seperti yang lainnya… membencinya seolah dia seorang penjajah. Saya khawatir, ada orang kampung ini yang membocorkan pada pihak Jepang bahwa ada seorang Netherland yang tinggal di kampung ini. Saya tidak bisa membayangkan seorang Ruth disiksa oleh mereka yang terkenal memang sangat sadis dan kejam, sebelum itu terjadi… saya harus melakukan sesuatu untuk Ruth.


Benar saja dugaan saya, ada seorang warga yang melaporkan keberadaan Ruth pada pihak Jepang. Saya mendengarnya dari seorang teman saat sedang bekerja di hutan, saya harus melakukan sesuatu untuk melindungi anak ini, bagaimanapun juga dia adalah anak perempuan pertama saya dan Nunung. Hari itu saya segera berlarian menuju rumah, merapihkan barang-barang yang sepertinya dibutuhkan oleh Ruth, sepasang pakaian, sedikit uang, sedikit makanan, dan seperangkat alat sholat untuknya agar selalu mengingat Allah. Saya ingin dia pergi sebelum Jepang datang dan menyiksanya.


Dengan sabar saya menunggu malam, menunggu anak-anak tidur, dan tentu saja menunggu Nunung terlelap, saya tak mau dia histeris melihat Ruth pergi. Setelah semua aman, dengan paksa saya bangunkan Ruth, dengan cara yang biasa saya tampilkan didepannya… saya berhasil mengusirnya pergi, ada kebencian dimata Ruth terhadap saya yang mengusirnya dengan jahat disertai ancaman akan membunuhnya jika dia membangkang.


Ruth telah pergi, rasa lega bercampur sedih menyelimuti perasaan saya… biarlah dia membenci saya, asalkan dia selamat dan baik-baik saja…


Belum sempat saya pejamkan mata, suara pintu rumah diketuk dengan sangat keras, hingga nyaris didobrak dengan paksa. Saya membukakan pintu, ke 9 anak-anak saya yang masih kecil terbangun karena sama kagetnya dengan saya, Nunung keluar belakangan… belum apa-apa matanya sudah dipenuhi air mata. Didepan kami, tampak beberapa belas orang asing bermata sipit dengan senjata ditangan mereka… mata mereka mencari-cari sesuatu, saya tahu… yang mereka cari adalah Ruth. Walaupun bahasa kami tak akan dimengerti oleh mereka, saya dan anak-anak hanya menggeleng-gelengkan kepala saja disertai posisi tangan kami yang diacungkan keatas tanda menyerah dan lemah. Mereka berteriak-teriak sambil kemudian memaksa masuk ke dalam rumah. Nunung bereaksi spontan, dia berteriak-teriak memanggil nama Ruth sambil bergegas lari ke arah kamar Ruth.


Nunung yang bodoh telah melakukan kesalahan yang begitu fatal, salah seorang tentara Jepang yang ada dibelakangnya reflek mengayunkan sebilah pedang ke arah tubuhnya, detik itu juga saya melihat tubuh Nunung melemah dengan semburan darah mengucur dari dalam perutnya… tempat pedang itu bersemayam. Saya dan anak-anak menjerit histeris melihat Nunung terkulai lemah, saya rangkul tubuhnya… tak peduli pada tentara-tentara Jepang yang mulai memenuhi rumah kami dan mulai memporakporandakan seluruh isinya, menjelajahi setiap sudutnya, untuk mencari seorang Ruth.


Mereka tidak menemukan Ruth, mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, mereka tidak percaya kepada saya yang terus menerus menangis memeluk jasad Nunung sambil menggelengkan kepala menjelaskan tentang ketiadaan Ruth di rumah ini.

Sepertinya mereka kecewa atas itu…

selanjutnya yang mereka lakukan adalah… menghabisi 9 anak-anak kami satu persatu tanpa ampun, dengan sengaja mereka siksa saya dengan pemandangan paling menyakitkan di dalam hidup saya, dimana ke-9 anak saya menjerit meronta hingga akhirnya sama seperti ibu mereka, terbaring tanpa nyawa disisi saya.

Hati saya hancur, mereka menyiksa saya dengan tidak membunuh saya, mereka biarkan saya memandangi pemandangan menyakitkan ini, mereka biarkan saya hidup seorang diri menjalani hari-hari saya nanti. Tak pernah sebelumnya membayangkan akan mengalami kehancuran seperti ini.

Suasana rumah ini kini tinggal keheningan, hanya suara tangis saya yang memenuhi isi ruangan ini… ruang keluarga dimana biasanya saya dan anak-anak berkumpul melepas lelah selepas bekerja di hutan.


Mereka telah pergi, mereka yang kejam dan tak berprikemanusiaan dan membunuh semua orang yang kusayangi satu persatu telah pergi, dengan perasaan kesal karena tak berhasil menemukan orang yang mereka cari.


“Ruth, seharusnya kamu tahu nak… Bapa melakukan semua ini untuk melindungimu nak… semoga kamu selamat Ruth…”


Saya melangkahkan kaki saya ke arah belakang rumah, dimana ditempat itu ada sebuah sumur yang biasa digunakan seluruh warga kampung untuk mengambil air. Sumur yang saya buat untuk mereka semua… warga kampung ini, dimana salah satu dari mereka telah menjadi seorang pengkhianat yang telah mengadukan Ruth kepada tentara Jepang. Saya tidak akan kuat menahan beban hidup, saya tidak ingin hidup dengan penuh dendam terhadap warga kampung ini, lebih baik saya pergi menyusul orang-orang yang saya cintai. Semoga Allah mengampuni perbuatan ini, semoga Dia bisa mengerti bagaimana posisi saya.

Saya angkat kaki ini, menaiki tepian sumur. Saya tahu ini adalah tindakan yang sangat dibenci Allah, tapi saya sungguh tidak kuat menerima cobaan ini. Bismillahirohmanirrahim…

Tubuh saya terjun dengan bebas 20 meter kedalam sumur dengan air yang cukup dalam, saya bukan orang yang piawai berenang, yang saya tahu selanjutnya hanya sesak nafas… dan derai air mata yang tak kunjung berhenti. Saya pergi dalam gelisah, menyisakan sesak yang tak kunjung berhenti…
 
 
* “Brengsek!! Rupanya orang kampung itu telah menipu kita! Berarti kita gagal mendapatkan seorang wanita pirang!”, kapten terus berkoar-koar marah karena kesal merasa tertipu oleh bangsa bodoh ini. Seharusnya kami sudah memboyong seorang wanita pirang kali ini. seperti yang mereka janjikan sebelumnya. Kami rela berjalan beberapa kilometer memasuki hutan demi wanita itu, tapi nihil… wanita itu tidak ada, entah kabur entah memang hanya bualan. Nama kapten pasukanku adalah Yato, konon dia adalah yang terkejam diantara pemimpin-pemimpin pasukan lainnya. Buktina, baru saja kami membunuh 11 orang sekaligus hanya karena emosinya yang meluap saat tak berhasil menemukan perempuan pirang yang kami cari. Yato tak kenal ampun, wanita, nenek-nenek, bahkan anak-anak kecil bisa dengan mudah mati ditangannya. Sebenarnya aku cukup kagum terhadap Yato, dia adalah pemimpin yang sangat tegas dan sangat disegani prajuritnya. Dan aku adalah orang yang cukup dekat dengannya, Yato selalu memperhatikanku, mungkin karena aku adalah prajurit yang tak kenal lelah dan selalu setia mengikuti segala instruksinya.

Namaku Tsuya. Aku adalah anak sebatang kara, aku tak pernah ingat siapa orangtuaku. Yang aku tahu, aku harus berjuang keras bertahan hidup di negeriku, entah sudah berapa banyak terpaan dan cacian yang kuterima selama aku hidup membuatku tak lagi mengenal kasih sayang. Saat pemerintah membutuhkan sukarelawan untuk maju ke medan perang, aku yang pertama berdiri menawarkan diriku tanpa beban. Aku rela mati, aku rela berjuang tanpa henti, toh sebenarnya di negeri ini pun aku selalu berjuang melawan kelaparan, melawan cacian, berjuang melawan segalanya…


Hari sudah malam, lelah menggerogoti kaki ini. sudah sekitar 5 jam kami berjalan menerobos hutan demi sebuah hasil yang nihil, kulihat semuanya terbaring lelah dengan perasaan kesal. Yato masih terdengar kesal saat terakhirkali kuajak dia berbicara, pintu dibantingkan begitu kerasnya saat meninggalkan barak pasukannya. Aku adalah orang yang dipercaya untuk mengabsen seluruh prajurit didalam barak, menghitung satu persatu memastikan semuanya lengkap. Kukeluarkan catatan dari dalam lemari kayu tempat segala berkas dengan rapi tersusun, kupanggil satu persatu prajurit yang juga merupakan teman-temanku, semua lengkap… kecuali dia, Taka Matsuda, orang menyebalkan yang paling dibenci Yato. Prajurit tak berguna itu lagi-lagi hilang. Terakhir saat hilang, dia ditemukan tengah melukis batu di dalam hutan. Yato benar-benar marah padanya, tapi dia tak punya kuasa untuk menghabisi nyawa Taka. Sebenarnya jika Yato memerintahkanku untuk menghabisinya, dengan senang hati akan kulakukan, laki-laki sok suci itu memang pantas mati.


Mau tak mau harus aku sendiri yang turun tangan untuk mencari Taka, kalian bisa bayangkan bukan bagaimana sakitnya kakiku ini setelah berjalan jauh tanpa hasil? Dan sekarang harus mencari si Taka yang entah kemana. Kupakai kembali sepatu boots yang sudah sangat bau keringat, hampir 3 bulan bertugas disini aku tak pernah menggantinya. Kulangkahkan kaki ini keluar barak, menapaki tanah yang tadi kulewati, aku sih sangat berharap kali ini yang kutemukan adalah jasad Taka, ya! Dia lebih baik mati saja lah. Belum 10 menit aku berjalan, kulihat sosoknya setengah berlari mendekatiku, rupanya itu si Taka, muncul begitu saja dari tengah hutan.


“Tsuya! Tsuya! Maafkan aku! Yato marahkah? Perutku sakit sekali, setiap berdiri pasti langsung sakit lagi dan lagi, aku buang air terus Tsuya!”, keringat bercucuran dari pelipisnya. Aku tahu dia sangat khawatir, kupikir… hmmm rupanya dia masih takut pada Yato, padahal selama ini kami anggap dia batu. “Seharusnya kau bilang padaku, untung saja aku tidak melaporkanmu pada Yato! Dia sedang kesal, jangan sampai kekesalannya dia tumpahkan padamu!”. “Hah? Kesal kenapa dia?”, wajah Taka tampak bodoh dengan pertanyaan itu. “Astaga, jadi kau tidak ikut kami ke desa itu?”, emosiku kali ini tak bisa tertahan… apalagi kepala Taka menggeleng cepat menjawab pertanyaanku. “Aku diam di hutan itu sejak beberapa jam yang lalu, kalian meninggalkanku saat buang air, sepertinya tadi kalian sangat terburu-buru”, Taka berusaha membela dirinya, dan aku sudah tidak tahan lagi mendengar penjelasannya. “Sudah-sudah simpan saja omong kosongmu itu, aku hanya ingin tidur sekarang, ayo pulang sebelum Yato menghajarmu!”.


Malam-malam selanjutnya lagi-lagi Taka menjadi orang yang sangat hobi menghilang, dan lagi-lagi aku yang pergi mencari keberadaannya, amarahku sudah tak mampu dibendung lagi, aku muak dengan semua alasan-alasannya. Suatu malam, diam-diam kuikuti Taka pergi, rasa penasaranku sudah benar-benar memuncak, aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku. Sekitar 200 meter dia berjalan didepanku, kepalanya gelisah bergerak kekanan dan kekiri, aku mengendap-endap menjaga gerakan kakiku agar dia tidak mengetahui keberadaanku. “Wah jauh juga yah si Taka ini berjalan, sebenarnya dia mau kemana ya?”, pikiran itu terus bergulir di atas kepalaku. Setelah hampir 1 jam berjalan kaki, akhirnya kulihat dia menepi di sebuah mulut goa di tepi hutan, aku berhenti sekitar 100 meter dibelakangnya, berlindung dibalik sebatang pohon besar yang berhasil menutupi seluruh tubuhku.


Kudengar dari kejauhan, Taka mengeluarkan bebunyian seperti suara burung… aku tahu ini adalah sebuah isyarat untuk memanggil seseorang, hatiku berdegup kencang… awalnya kupikir dia akan berhenti untuk melakukan hal-hal konyol yang biasa dia lakukan seperti contohnya melukis batu, namun kali ini lain… Taka hendak menemui seseorang. Tanpa harus menunggu lama, kudengar siulan lain berasal dari dalam gua, kulihat tangan Taka mulai mengeluarkan barang barang dari balik bajunya, mataku melotot melihat banyak makanan yang dia sembunyikan dari balik bajunya itu. “Oh kena kau Taka, sekarang kau berani mencuri makanan ya, akan kuadukan ini pada Yato!”, aku tersenyum-senyum sendirian penuh rasa penasaran menunggu untuk siapa sebenarnya makanan makanan itu.


Sebuah tangan berwarna pucat muncul dr dalam gua, mengambili satu persatu makanan yang dibawa Taka tanpa memperlihatkan badan dan wajahnya, membuatku begitu penasaran dengan wujud aslinya. Kulihat Taka selesai memindahkan semua makanan yang ada di balik bajunya, dengan bahasa kami dia berteriak “Makanlah, semoga cukup sampai lusa, besok aku tidak bisa kesini. Ya?”. Setelahnya, kudengar sebuah suara muncul dari dalam gua mengucap kata-kata dengan bahasa yang tak kukenal, sepertinya sih bahasa tanah jajahan kami ini. Taka beranjak mundur dan berbalik pergi, aku mulai memundurkan badanku berbalik menghindari tatapan Taka, sebaiknya dia tidak melihatku, sebaiknya aku segera kembali ke barak, biarlah besok lusa saja kuikuti si Taka lagi.


Masih dengan posisi membelakangi pohon, masih menunggu Taka terlebih dulu pulang, kudengar suara dari dalam goa itu kembali terdengar berteriak memanggil nama Taka, refleks kubalikan badan dan wajah ini saat teriakan itu terdengar. Tubuhku lemas seketika melihat wujud dari suara itu…

Kulihat seorang wanita pirang muda tengah memeluk Taka dari belakang, wanita ini pastilah keturunan bangsa Netherland, bangsa yang merupakan musuh kami. Dan Taka, anak bangsaku… yang kulihat kini sedang menggenggami tangan wanita itu telah menjadi seorang pengkhianat. Dia harus mati.


Aku berlarian menuju pos, tempat pasukanku dan Yato kini tengah beristirahat, meski lelah.. aku harus segera menyampaikan berita ini, sebelum akhirnya Taka kembali pulang.


Yato begitu marah, murka, begitupula dengan seluruh prajurit, semuanya menganggap Taka adalah seorang pengkhianat. Sebuah langkah pintar telah kami susun, Yato memang seorang pemimpin yang cerdas… dia tak langsung membunuh Taka hari itu juga seperti yang kubayangkan. Selama 2 hari kami memendam perasaan marah, Taka tak tahu bahwa kami semua tahu dia adalah seorang pengkhianat.


Hari yang kami tunggu telah tiba, kami semua berkumpul sesaat setelah Taka kembali mengendap ke dalam hutan. Aku hafal betul rutenya, kupimpin pasukanku, sementara Yato diam dibelakangku mempercayakan semuanya padaku. Sebuah semangat terlihat dimata Yato, aku tahu dia begitu senang karena akan ada seorang wanita di barak kami, meski kami marah karena seorang prajurit bangsa kami telah menjadi pengkhianat karena wanita itu.


Taka tengah memberikan makanan yang dia ambil dari bajunya saat kami datang, kali ini wanita pirang itu terlihat begitu jelas karena dia tersenyum mengambilinya diluar Goa, rupanya dia sudah mulai berani keluar dari tempat persembunyiannya. Kami semua menyebar mengelilingi mereka, menunggu waktu yang tepat untuk menyergap keduanya. Aku sudah tak sabar untuk segera membombardir mereka… dengan apapun asal mereka tersiksa. Aku sudah lama menunggu saat ini datang…


Mereka berpelukan, berbicara dengan bahasa yang berbeda, keduanya tampak tersenyum sambil saling memeluk, cih! Banci! Aku benci pemandangan seperti ini. Kulihat mata Yato menyala merah penuh marah disampingku, aku tahu diapun begitu jijik melihat semua ini. segera kuangkat komando tanda saatnya menyergap Taka tiba.


Aku berteriak dengan begitu lantang, “Majuu!!”. Pasukanku yang terdiri dari sekitar 30 orang menyergap Taka dan wanita pirang itu, memisahkan pelukan menjijikkan yang tak sadar telah menjadi tontonan bagi kami, bangsanya yang merasa terkhianati oleh seorang Taka. Aku bisa lihat bagaimana paniknya mereka, Taka masih saja berusaha melindungi wanita itu dengan tangan kosongnya… dia memang bodoh, mungkin Yato masih bisa memaafkannya jika memang dia bisa berlaku benar, Fatal betul tindakannya. Yato terlihat sangat geram oleh tindakan Taka yang sangat bodoh ini. Aku sendiri merasa takut melihat tatapan Yato malam itu, rupanya kekesalannya akan tumpah malam ini, aku tahu betul itu…


Bagai seorang pejuang yang begitu gagah dan hebat dimataku, Yato berinisiatif maju mendekati mereka berdua, tangannya yang sudah sejak tadi mengacung-acungkan pedang ke arah mereka terlihat bergetar hebat, semua emosinya tertumpu pada sebilah pedang yang kini mulai diacungkan ke arah Taka.

Dugaanku salah… pedang itu diarahkan Yato pada wanita pirang yang ada disamping Taka, kupikir Yato akan menyisakan wanita itu untuk memuaskan hasratnya, namun lagi-lagi dugaanku salah karena kemarahan Yato pada pengkhianatan Taka terhadap dirinya dan bangsa kami terpusat pada wanita pirang ini. Aku yakin, Yato berpikir bahwa Taka menjadi pengkhianat karena wanita sialan ini. Ujung pedang sudah bersiap mendekati tubuh wanita itu, jika tepat sasaran, akan menghujam jantungnya… ya, tepat di jantungnya.

Namun lagi-lagi untuk yang terakhirkalinya Taka berbuat bodoh, tangannya secepat kilat mendorong wanita pirang yang kini diteriakinya dengan panggilan “Ruth”. Sambil berteriak dia berbuat layaknya seorang pahlawan kesiangan, menggantikan posisi wanita itu hingga akhirnya pedang Yato sukses menghujam jantungnya. Untuk sesaat kami semua terdiam melihat darah berhamburan dari tubuh Taka, disusul melemahnya kondisi tubuhnya setelah beberapakali sempat mengejang.

Teriakan wanita pirang itu membuyarkan keterkejutan kami semua, dia berteriak-teriak mengucapkan bahasa-bahasa aneh, seperti menyebut bahasa baru yang mmmh… terdengar seperti bahasa orang-orang timur tengah, sambil menangis dia terus berbicara dengan bahasa aneh itu, wanita ini gila. Kami semua terpana melihat pemandangan wanita sakit jiwa ini, jangankan ingin menyentuhnya… berada di dekatnya saja kami mulai merasa takut, aku berpikir jangan-jangan dia ini penyihir… Atau entahlah, kami semua belum tahu sebenarnya budaya bangsa Netherland ditanah ini, kami heran dengan tindakan wanita ini, dia seorang Netherland yang berkelakuan agak aneh.

Yato cepat tersadar, dia berteriak kepadaku untuk segera mendekati wanita yang terus menerus memeluki jasad Taka yang kini mulai kaku sambil berteriak “Allah Allah Allah..”, Yato lantas ikut menarik jasad Taka untuk segera disingkirkan dari wanita itu. Kami semua mulai sadar, dan harus segera menangani wanita ini…

Namun apa yang terjadi berikutnya tak pernah kuduga…

Wanita ini tiba-tiba mencabut pedang yang tercancap di tubuh Taka saat kami hanya berjarak beberapa inchi darinya, Yato yang berada paling depan tak jauh dariku rupanya kurang tanggap atas tindakan wanita itu. Wanita itu berteriak dengan keras sebelum akhirnya pedang yang kini ada di tangannya dia tusukkan ke badan Yato, lagi-lagi tepat dibagian dada.

Waktu seakan berhenti, kami semua diam memandangi pemandangan gila ini! dan tak sadar bahwa wanita itu  kembali mencabut pedang yang sudah membuat Yato terkulai…

Lalu pedang itu dihujamkan olehnya sendiri ke arah perutnya… dia menjerit, memekik, melotot, mengeluarkan darah segar dari mulutnya… sambil lagi lagi mengucap kata “Allah… Allah…”

Aku dan prajurit lain hanya diam tak berkedip menyaksikan pemandangan ini… malam ini malam yang sangat gila. Orang yang kubenci telah mati, orang yang kukagumi juga telah mati… seorang wanita pirang penyebab semua ini juga mati sebelum kami sendiri yang membunuhnya…

Kami semua terdiam… terus menerus terdiam… pengkhianatan ini harus terbalaskan, entah lah aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana cara membalasnya. Yang sekarang terpikirkan olehku adalah, memimpin pasukan ini menggantkan Yato, mencari orang-orang berambut pirang yang tersisa di tanah ini, lalu membunuh mereka tanpa ampun…


Tamat.

Rabu, 14 Maret 2012

Sarah & Jane


Ameliasarah namaku, anak perempuan yang merasa sudah sangat dewasa padahal ibu selalu mengingatkan "Sarah, umur kamu masih 9 tahun", putri pertama dari keluarga berdarah jawa sunda yang sangat diperlakukan istimewa oleh Ibu dan Bapak bahkan lebih istimewa jika dibandingkan perlakuan mereka terhadap 2 adik laki lakiku yang terpaut hanya 1 dan 2 tahun dibawah umurku, dan lebih anehnya...kedua adikku tidak pernah merasa keberatan dengan perlakuan istimewa milikku, mereka bahkan sangat menyayangiku. 

Coba sebut apa yang aku ingin makan hari ini, ibu akan bergegas membuatkan atau mencarikannya untukku. Coba sebut benda apa yang sedang ingin kumiliki saat ini, makan bapak akan bergegas membelikannya untukku. Aku sangat percaya diri jika memang harus menyebut diriku cukup cantik, beruntung Ibu seorang wanita sunda berparas rupawan, dan Bapak adalah lelaki jawa yang cukup gagah jika dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Hidupku sempurna, siapapun akan merasa iri melihat betapa sempurnanya hidupku.


11 agustus 1926

Bapak yang merupakan tuan tanah di daerah tempat tinggalku mendapatkan kunjungan dari pemerintah Belanda. Sudah sejak lama bapak mewanti wanti dirinya agar berhati hati dengan invasi orang orang berwajah tampan berambut pirang yang tiba tiba banyak berlalu lalang di negaraku. Aku tak tahu apapun tentang mereka, yang aku tahu... keluargaku adalah salah satu yang cukup beruntung bisa beramah tamah dengan mereka, bahkan aku mempunyai beberapa teman kecil berambut pirang yang tak merasa jijik berbicara bahkan bermain denganku.

Kalian harus tahu, bahkan aku berada satu sekolah dengan mereka, anak anak cantik yang merasa kastanya lebih tinggi dari wajah wajah anak bangsaku. Bapak selalu mengingatkan, "Jangan terlalu dekat dengan mereka Sarah.... bagaimanapun, bapak berjuang untuk bangsa ini, bangsa kita... Bukan untuk mereka". Aku tidak pernah mengerti arti dibalik ucapan Bapak.



24 oktober 1926

Usaha Bapak semakin pesat, aku Ibu dan dua adik laki-lakiku merasakan semua hasil usaha Bapak. Pemandangan orang orang berambut pirang sudah menjadi sangat biasa di rumah ini, rumah kami yang sebenarnya terlalu besar untuk ditinggali keluarga kecilku. Bapak semakin bersahabat dengan beberapa petinggi asal netherland itu. Ibu sudah mulai terlihat akrab dengan istri-istri mereka, bahkan tak jarang kami bertamasya sekedar hanya makan siang di lahan perkebunan kopi milik Bapak. Hidupku sangat menyenangkan....hidup kami sangat indah.

O iya, kini aku mempunyai seorang sahabat... dia bernama Jane. Umurnya masih 8 tapi postur tubuhnya terlihat seperti gadis berumur belasan tahun. Dia adalah anak dari sahabat Bapak yang kalau aku tidak salah, kedua ayah kami bekerja sama untuk membuat suatu usaha. Aku dan Jane sudah seperti kakak beradik, dimana ada aku.. disitu ada Jane. Dia aadalah putri tunggal, tapi jauh lebih mandiri daripadaku. Sedikit demi sedikit Jane banyak mengajarkanku untuk tidak manja. Betul saja, setelah mengenalnya...aku tak lagi banyak menuntut sesuatu yang berlebihan dari Ibu dan Bapak. Bahkan aku berani menasihati Ibu agar lebih memperhatikan keinginan kedua adik laki-lakiku.



1 Januari 1927

Aku dan Jane sedang berlarian di kebun kopi milik Bapak, yang kini menjadi milik ayah Jane juga. Rupanya ayah kami melakukan suatu perjanjian untuk melakukan usaha bersama-sama. Aku dan Jane hanya bisa bersyukur kepada Tuhan atas keputusan mereka akan hal itu. Artinya, kami tak akan pernah terpisahkan. Kami masih berlarian tertawa lepas sambil berpegangan tangan. Didepan kami kulihat beberapa warga sekitar yang sedang berkumpul seperti tengah membicarakan sesuatu. Jane menarik lenganku, kami masuk ke dalam semak-semak lantas diam-diam menguping apa yang sedang dibicarakan orang-orang itu. Kami mendengar, "Ini tidak bisa dibiarkan, tuan sudah menjadi penghianat! Kita tidak akan pernah sudi menjilat kaki seorang penghianat lagi. Benar benar tidak bisa dibiarkan!", aku dan Jane saling berpandangan.....lantas terkikik menahan tawa karena wajah mereka terlihat lucu, marah dan berapi-api. Lalu aku menarik tangan Jane, mengendap mencari jalan lain agar tidak terlihat oleh mereka yang sedang berkumpul dan terlihat marah.



7 Maret 1927

Entah apa yang terjadi, kesehatanku tiba-tiba saja menurun di awal bulan ini. Seperti yang sudah tahu akan terjadi seperti ini, Ibu dan Bapak tidak terlihat terlalu panik. Mereka hanya bisa memelukku erat saat badanku terus melemah dan melemah. Kedua adikku selalu berada di dekatku, memeluk kaki dan menatap wajahku dengan tatapan sedih. Aku tak ingin terlalu banyak bertanya, seorang dokter keturunan belanda dan dua orang suster mulai tinggal di dalam rumahku.

Kaki dan tangan begitu sulit untuk digerakkan, berat badan menurun drastis meski hanya 1 minggu. Dan Jane, tentu saja...melebihi intensitas keluargaku, dia bahkan memutuskan untuk pindah dan menetap di rumahku. Ayahnya yang sangat baik hati mengijinkan Jane untuk mendampingiku, hidupku.... indah.



14 April 1927

Aku hanya bisa terbaring kali ini diatas tempat tidurku. Menyedihkan, setiap harinya mulutku harus mengeluarkan muntahan beberapa gumpalan darah. Rasa lega terjadi jika gumpalan darah itu kukeluarkan dari tubuh ini. Badanku semakin kurus dan kering. Ibu dan Bapak membuang semua cermin di kamar ini, aku setuju dengan ide mereka. Lebih baik hanya merasakan saja bagaimana kondisi tubuhku ini, tidak usah memastikan dengan cara melihat cermin. Perlahan helaian rambut ini juga berjatuhan hebat, enatah apa yang sedang menggerogotiku.

Jane masih saja ada di sampingku, dia yang sangat kusayangi menghadiahiku sebuah kain untuk menutupi kepalaku yang hampir polos tak lagi memiliki rambut.



25 April 1927

Terjadi keributan diluar kamarku, entah apa yang terjadi tapi ini sudah malam bahkan mataku begitu sulit untuk diangkat. Ingin rasanya mencari tahu apa yang terjadi diluar sana. Jane yang tertidur disampingku terperanjat kaget, dan mencoba menenangkanku agar kembali tidur. Kulihat dia beranjak meninggalkan kamarku sepertinya mencari tahu apa yang terjadi di luar sana. Jane kembali ke kamar, dia berkata "Tidurlah Sarah, semuanya baik baik saja.... diluar terjadi keributan akibat babi liar yang tidak sengaja masuk ke dalam halaman rumahmu".



26 April 1927

Ibu mendatangi kamarku, kali ini dengan wajah sedih dan mata sembab. Bapak berada dibelakangnya, juga dengan tatapan yang sama sedihnya. Mereka mendatangiku lalu memelukku dengan erat sambil berkata, "Sarah... bertahanlah untuk kami... karena semua ini kami lakukan untuk kamu.." mereka lalu pergi dan meninggalkan sejuta pertanyaan di dalam benakku. 



6 Mei 1927

Coba tebak, kini badanku kaku tak bisa bergerak. Sebagian besar dari tubuhku sudah lumpuh, kini aku tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Hanya ekspresi mata yang bisa kulakukan untuk berinteraksi dengan orang lain. Obat-obatan semakin tak terelakan, selang dan berbagai cairan aneh sudah menjadi makanan sehari hariku. Jane dan kedua adik laki-lakiku semakin sering memeluk dan mengucap banyak doa ditelingaku. Aku masih bisa mendengar doa mereka, ungkapan hati mereka, cerita mereka...dengan menggunakan telinga ini. Terimakasih Tuhan... hidupku indah.



1 juni 1927

Terjadi keributan diluar sana, seperti ada sesuatu benda keras yang dilempar melalui jendela rumah depan. Bunyinya sangat keras dan sangat mengagetkanku. Sepertinya ada sesuatu yang pecah akibatnya.



10 juni 1927

Ibu dan Bapak semakin jarang mendatangi kamarku, sepertinya ada suatu hal yang harus mereka urusi. Aku tak percaya kalau mereka tak lagi peduli padaku, walau ragaku kini hanya terlihat seperti mayat hidup. Kedua adikku masih setia menungguiku di kamar yang sudah terasa sangat membosankan bagiku. Jangan tanya kemana Jane, karena dia selalu ada mendampingiku. Kegiatan baru jane kini adalah merajut topi yang konon dia buatkan untuk kepalaku yang kini benar benar plontos.

Sekali waktu Ayah dan Ibu Jane menjengukku, sebelumnya sempat kudengar nada perdebatan antara Jane dengan kedua orangtuanya di luar kamar. Tapi mereka masuk dalam keadaan tersenyum saat berada di dalam kamarku. Pikirku, mungkin orangtuanya ingin agar Jane pulang. Ingin rasanya aku berkata "Pulanglah Jane...ayah ibumu pasti merindukanmu.." tapi aku tidak bisa melakukannya, mataku tidak bisa berkata sebanyak itu untuk menyampaikannya.



17 Juni 1927

"Sarah!!!! Besok kamu ulang tahun!!!! Akan kupakaikan baju terindah milikku di tubuhmu Sarah!!!! kita harus merayakannya!!!" Jane berteriak seperti orang gila pagi itu. Bapak dan Ibuku masuk dan tersenyum menatap kelakuan sahabatku ini, 2 adik kecilku ikut berteriak "Horee!!! Ibu Bapakk....kami ingin membeli hadiah untuk Sarah!!!" Tiba-tiba saja suasana di kamar ini menjadi sangat penuh warna. Kurasakan tawa yang lama tak lagi ada di rumah ini mungkin akibat diriku yang sakit-sakitan dan lemah. Dua suster yang biasa menjaga kesehatanku juga ikut berkata, "Kami akan menggunakan baju yang bagus untuk Sarah!" Terimakasih Tuhan....hidupku indah.



17 Juni 1927 petang

Jane membawa baju yang dia janjikan, mencoba memakaikannya dibadanku yang kaku. Kulihat warna baju itu sangatlah damai, putih susu...berenda dan agak kebesaran ditubuhku yang kini jauh lebih menyusut. Jane memang sahabat yang sangat gila, walau aku lemah.. dia tak gentar mencoba memakaikan bajunya ditubuhku. Bapak Ibu dan kedua adikku mendatangi kamarku, mereka tersenyum "Kamu cantik sekali Sarah...ijinkan kami pergi sebentar ya sayang, membeli hadiah untukmu dan beberapa persiapan untuk hari istimewamu", aku mengedipkan sebelah mataku tanda setuju. Suster dan Dokter juga pergi sore itu, begitu antusiasnya mereka mempersiapkan hari yang mereka anggap spesial. Hanya tinggal aku dan Jane di rumah ini, tak mengapa... asal ada Jane, aku merasa aman meski lemah dan tak berdaya.



17 Juni 1927 saat mentari mulai tenggelam

Aku dan Jane sedang tertidur lelap, belum terlalu malam saat itu. Ibu, Bapak, 2 adikku, Suster serta Dokter rupanya belum pulang ke rumah. Ada beberapa pekerja dan pesuruh dibelakang rumah, namun mereka tidak pernah berani masuk ke dalam rumah.

Tiba-tiba saja Jane terperanjat hebat, aku pun membelalakkan mata dengan paniknya. Kami sama-sama mendengar teriakan banyak orang diluar rumahku yang entah meneriakan kata kata apa, namun terdengar marah dan kasar. Suara pecahan jendela yang dilempari benda keras terdengar berkali kali bahkan lebih parah dari yang sebelumnya pernah kudengar. Biasanya Jane berlari keluar mencari tahu apa yang terjadi, namun malam itu dia hanya memelukku dengan erat. Erat sekali seakan tidak pernah mau terpisahkan denganku.

Suasana disekitarku terasa sangat panas, hawa yang biasanya dingin kini terasa begitu menyengat dikulitku karena panas. Teriakan orang orang diluar semakin terdengar jelas, Jane semakin kencang memelukku. Tetesan airmata mulai menyeruak keluar dari mataku, aku panik.... bagaimana Ibu bagaimana Bapak bagaimana 2 adikku bagaimana nasib mereka.

Rupanya sengatan panas ini timbul dari api yang mulai menjalar di dinding-dinding rumahku, kini sampai di ruangan tempatku terbaring kaku dan ketakutan. Siapa mereka? siapa orang-orang itu betapa beraninya melakukan ini terhadap hidupku yang sempurna?

Jane semakin memelukku kencang, tak berusaha membawaku pergi. Aku tahu dia hanya ingin melindungiku.... meski sesungguhnya ingin aku berteriak "pergilah Jane selamatkan dirimu!!!!" air mata terus berurai. Sama dengan api yang semakin sengit menjalar meluluhtantakan semuanya... termasuk kami berdua yang sedang berpelukan. Aku dan Jane.



17 Juni 1998

Aku dan Jane berdiri di perkebunan yang kini menjadi perumahan, namun ada sepetak tanah yang masih mengingatkan kami akan kebun kami. Berpegangan tangan. Jane tidak pernah menyalahkanku atas kematiannya. Kami masih bersahabat bahkan lebih dekat dari kami saat masih bernafas dulu.

Hidup kami indah..... bahkan kini kami mempunyai tanggal kematian yang sama, dimana setiap tahunnya, kami akan berdiri berpegangan tangan di tanah tempat kami dulu berpelukan erat hingga berhenti bernafas. Ibu Bapak Adik Adikku, bahkan orangtua Jane... entahlah mereka dimana kini.

Aku bersyukur masih bisa bertemu Jane dan bisa memegangi tangannya seperti saat ini. Terimakasih tuhan..... hidupku indah.

kutipan tentang danur




Tak mudah melalui fase kehidupan yang cukup rumit dengan usia yang rasanya belum mampu menghadapi serangkaian peristiwa tidak biasa, tak mudah menjalani hidup sebagai anak-anak normal jika semua yang kuanggap normal ternyata hal-hal tidak normal. Kuanggap tembok adalah benda hidup, sama seperti kalian.. teman-teman yang bisa kuajak berinteraksi untuk mendiskusikan apapun yang kuanggap penting. Kuanggap pohon adalah mahluk bergerak yang setiap saat bisa saja kumintai bantuan, yang setiap saat ikut bergerak saat kumelangkah, dan setiap saat melihat apa yang akan kulakukan..mencermati isi kepalaku.

Tubuhku begitu kecil saat kutahu kelima sahabatku ternyata onggokan belulang manusia tanpa kepala yang jelas jauh berbeda denganku yang masih bisa berdiri tegap, melangkah bebas, menapaki tanah, dan nyata untuk diraba. Bukan takut yang menyergap, perasaan iba muncul ke permukaan melebihi apapun yang pernah kurasakan terhadap mahkluk-mahkluk sepertiku.

Aku masih belia ketika akhirnya kelimanya pergi meninggalkanku sendiri ditengah bau Danur yang semakin mengusik hari-hariku. Kalian tahu apa itu Danur? Danur adalah air yang muncul dari jasad mahkluk hidup yang telah mati dan membusuk. Kututup penciumanku, kututup mataku, kututup hatiku untuk Danur-Danur baru yang muncul sepeninggal mereka.

Berjuang menyeimbangkan langkah agar tetap merasa normal hingga akhirnya kutemukan cara agar semuanya terasa baik-baik saja. Tak selamanya Danur itu menyengat dan membuatku lunglai, kelima sahabatku pergi… namun segala sesuatunya selalu sama, kepergian mereka mendatangkan sahabat-sahabat baru untukku. Pengalaman-pengalaman baru, kisah-kisah baru. Drama… selalu dipenuhi drama.

Telah kubuka gerbang dialog antara aku dan dunia mereka, telah kurangkai kisah-kisah baru. Penciumanku tetap tertutup rapat, namun kini telinga, mata,  hati, dan pikiranku terbuka lebar untuk mereka..

Tak selamanya Danur itu menjijikkan…

Karena kini aku bisa mencium banyak wewangian yang muncul karenanya…

Peter, William, Hans, Hendrick, Janshen, Samantha, Jane, Ardiah, Edwin, Teddy, Sarah, Elizabeth, Kasih… adalah beberapa tokoh dari sekian banyak sahabat di proses hidupku hingga kini…

Cerita tentang mereka kurangkum dalam sebuah karya yang kuberi nama, “Danur”. (karya dari risa saraswati)